Puisi-puisi Setia Naka Andrian
Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Meraih Penghargaan Acarya Sastra 2017. Menerbitkan buku puisi, Perayaan Laut (April, 2016), Manusia Alarm (Agustus, 2017), Orang-Orang Kalang (Agustus, 2017). Peraih Penghargaan Acarya Sastra 2017 dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Abdi Bahurekso
aku lah abdi barurekso
satu-satunya yang disisakan
semenjak para pengikut mati tiba-tiba
dibiarkan linglung di penjara-penjara
aku lah sisa ingatan masa silam
ketika laut dan darat
memilih melepas rindu di medan perang
aku gemetar, ketika kuda-kuda berlarian
saat ombak menyembur ke udara
dan jika hujan begitu saja turun
di atas kepala umat
yang lebih memilih
memenggal diri sebelum subuh berseri
aku kemudian berbaring
menikam ingatan dan doa
yang selalu tak pernah berakhir
dan di pekuburanku
orang-orang berlalu-lalang
menyiram air sungai paling suci
menabur bebungaan
melantunkan banyak dugaan-dugaan
yang tak kunjung berakhir
walau bermalam di ribuan meja pengadilan
Kendal, September 2016
Kisah yang Urung Diciptakan
ia yang dulunya memilih tumbang
sebelum jalan-jalan dipagari portal
ia yang lebih lama bepergian
dan tak menunggu kapan hari pulang
ia yang sepertinya tidur di sebelah iman
dan tak sekalipun menciumi pipi kekasih
yang seang asyik telanjang
ia yang tiada pernah merasa berjuang
walau tubuh berlumuran bercap luka
seribu pedang
ia yang memilih kehilangan akal
sebab, hari selanjutnya
telah menginap dalam kisah-kisah
yang urung diciptakan
Kendal, September 2016
Surat kepada Musuh
sudah lama rasanya
aku rindukan sepucuk surat
dari seorang musuh
yang kerap menyembunyikanku
di sepanjang sungai
yang lebih memilih hilang
dan terbakar
sebelum hilir diputus di lautan
aku ingat betul,
bagaimana udara meminta urat surat
dilayangkan di jalan-jalan bercat merah
mereka yang banyak memaksa kita
untuk mengisi doa-doa bualan
mengantongi sepekan pikiran
di sepanjang usia mereka
yang katanya kerap lebih memilih perpisahan
dan tiga cara tak sengaja berpelukan
daripada tak berprasangka apa-apa
setelah semua lari akibat gunung meletus
berkali-kali
lalu kita semua memilih pergi
meninggalkan suara-suara dewa
dan sepenggal surat lepas dari kata-katanya
kita pergi jauh, menjadi tangga
yang tak lagi mampu
mencari letusan gunung-gunung
yang meninggalkan kaki-kaki
yang menjadi pendakian
yang menjadi iman
yang tak lagi dipijaki
Kendal, September 2016